Kamis, 30 Januari 2014

Paket Napak Tilas Yesus di Israel

Dini hari tiba di Cairo dan selesai proses imigrasi langsung menuju hotel untuk beristirahat. Selepas santap pagi berorientasi di seputar kota Cairo dengan mengunjungi kota tua Cairo untuk mengunjungi Gereja Abu Sirga (Mat 2: 13-15) yang merupakan tempat tinggal keluarga kudus selama di Mesir dan Ben Ezra Synagogue; tmepat bayi Musa dihanyutkan ke sungai Nil (kel 2:1-9). Tak lupa mengunjungi The Hanging Church atau gereja gantung, dan juga Gereja Simon The Tanner yang juga dikenal dengan gereja Sampah di Bukit Mukatam. Tak lupa mengunjungi Papyrus Museum untuk melihat cara pembuatan kertas pertama di dunia serta Parfum Factory. Bermalam di Cairo.

CAIRO-GIZA-ST.KARATINA (BLD)
Pagi hari mengunjungi kawasan Giza untuk melihat salah satu dari keajaiban dunia yaitu Piramida dan Sphinx. Selesai santap siang melanjutkan perjalan menuju Biara St,Katarina dengan melewati terusan Suez yang terkenal dengan singgah di Mara: tempat Musa mengubah air yang pahit menjadi manis (Kel 15:22-26), Elim:tempat berkemah umat Israel di padang gurun dan terdapat 70 pohon kurma (Kel 15:27) dan juga melihat Rafidim: tempat dimana umat Israel berperang melawan orang-orang Amalek (Kel 17:8-16). Hari ini Anda akan bermalam di kaki gunung Sinai yaitu Sr, Katarina.

ST. KATARINA-TABA-JERUSALEM (BLD)
Dini hari bagi yang berminat, Anda akan mendaki puncak Gunung Sinai: tempat Musa menerima 10 Perintah Tuhan di atas gunung (Kel 19:1-25). Tak lupa Anda juga akan mengunjungi Biara St. Katarina, yang merupakan salah satu biara tertua di dunia yang dipercaya tempat Musa melihat semak belukar yang terbakar (Kel 3:1-22). Siang hari menuju perbatasan Taba untuk memasuki wilayah Israel. Hari ini berisitirahat di Jerusalem.

JERUSALEM (BLD)
Memasuki kota tua Jerusalem untuk mengunjungi Tembok Ratapan, Gereja Santa Anna : rumah orang tua Bunda Maria, Kolam Bethesda (Yoh 5:1-18) Tuhan Yesus menyembuhkan orang lumpuh. Mengikuti Via Dolorosa (Jalan Salib) yang terdiri dari 14 stasi dan berkahir di Holy Sepulchure (Yoh 19:16-27). Selepas santap siang menuju Betlehem (Luk 2:1-20) untuk melihat Gereja kelahiran dan perjamuan kudus di Garden Tomb atau Golfota. Tak lupa Anda akan mengunjungi daerah Bukit Sion dimana terdapat Makam Raja Daud, Last Supper (Mat 26:26-29) yang merupakan ruang perjamuan terakhir dan St, Peter Gallicantu; Petrus menyangkal Tuhan Yesus. Bermalam di Jerusalem.

JERUSALEM (BLD)
Pagi ini Anda akan diajak untuk mengunjungi daerah Bukit Zaitun dimulai dengan Kspel Kenaikan
Yesus (Kis 1:9-12), Peter Noster: tempat Tuhan Yesus mengajarjan Doa Bapa Kami (Mat 24:1-3)., Dominius Flevit (Luk 21:20-24), Jalan Minggu Palem (Mat 11:1-11), Taman Getshemani (Luk 22-39-42) dimana Yesus berdoa sebelum ditangkap. Melanjurkan perjalanan menuju Qumran; tempat ditemukannya gulungan-gulungan asli kitab suci; Bukit Percobaan dimana Tuhan Yesus dicobai oleh iblis (Mat 4:1-11) dan kota tua Jericho (Mat 26:34-63) untuk melihat pohon Zakheus. Tak lupa menuju Laut Matu yang kaya akan mineral dimana Anda dapat berenang mengapung di atasnya, Bermalam di Jerusalem.

JERUSALEM-TIBERIAS(BLD)
Pagi ini menuju ke Tiberias dengan singgah di Puncak Gn, Karmel-Kota Halfa (1 Raj 18) dimana Elia para muridnya. Selepas santap siang menuju Nazareth (Mat 2:21-23 tempat Maria menerima kabar sukacita tentang kelahiran Yesus; Cana: mujizat anggur pernikahan (Yoh 2:1-11) dimana terdapat kebaktian khusus untuk pasangan suami istri dan Bukit Tabor (Luk 9:28-36); tempat Yesus dimuliakan. Bermalan di Tiberias,

TIBERIAS

Selepas santap pagi langsung menuju Tiberias untuk mengunjungi daerah di sekitar danau Galilea seperti Bukit Sabda Bahagia (Mat 5:1-12);

Friskila's Travelling Mission..(Death Sea)

 LAUT Mati

LAUT Mati menyimpan rahasia alam dan karunia Tuhan. Ia terletak di perbatasan Jordania, Palestina, dan Israel, banyak memiliki rahasia.
Salah satu keunikannya, Laut Mati tidak menyatu atau tidak terhubung dengan lautan luas. Ia seperti danau, tetapi airnya sangat asin, jauh lebih asin dibandingkan dengan air laut biasa. Bahkan, airnya serasa kental dan berminyak saat menyentuh kulit.
Keunikan lainnya, pantainya berada di posisi 383 sampai 400 meter di bawah permukaan laut. Itu berarti permukaan air Laut Mati lebih rendah 383-400 meter daripada permukaan air laut lepas.
Oleh karena itu, apabila kita mengendarai mobil dari Amman, ibu kota Jordania, menuju Laut Mati (Jordan Valley), jalan raya yang lebar dan mulus terus menurun. Andai tidak ada belokan, mungkin tanpa menghidupkan mesin mobil pun kita bisa sampai.
Dengan naik kendaraan, Lembah Jordan, kawasan di mana Laut Mati ”hidup”, dapat ditempuh dalam waktu sekitar 45 menit. Di sisi kiri dan kanan jalan dapat dinikmati pemandangan bukit bebatuan yang seolah terpahat seperti ukiran kuno. Lembah kering kerontang dan sesekali terlihat pepohonan yang hidup kerdil.
Jordan Valley memang diperuntukkan Pemerintah Jordania sebagai kawasan wisata dan konferensi, seperti Nusa Dua di Bali. Di sana sudah ada Hotel Marriott, Kempinski, dan lainnya dengan gaya resor yang kamar-kamarnya bersusun ke atas dan ke bawah serata dengan pantai. Pusat konvensi (convention center) juga sudah terbangun di sana, plus rumah sakit.
Jualan tentang Laut Mati hanyalah keunikannya. Sejak lama Laut Mati terkenal dengan lumpurnya. Melumurkan lumpur hitam yang disediakan penjaga pantai dari manajemen hotel ke sekujur tubuh juga merupakan sensasi tersendiri. Banyak yang percaya lumuran lumpur itu berkhasiat seperti lulur, mengupas kotoran atau daki yang menempel di kulit. Bahkan, dipercaya, setelah berlumur lumpur kemudian mandi dan berendam di Laut Mati, kulit akan bersih dan segar kembali, apalagi setelah mandi air tawar tentunya.
Terapung tanpa pelampung
Selain itu, karena tingginya kadar garam yang dikandung air Laut Mati, setiap orang bisa terapung sembari membaca koran atau majalah walau tanpa alat pelampung. Mengapungkan diri, merasakan air garam menyusup ke pori-pori, dan kemudian tubuh merasa hangat, semua itu membuat kita ingin mengapung selama mungkin.
Untuk mengapungkan diri, cukup terlentang dan melemaskan badan. Semakin melemaskan badan seolah tanpa berat, kian terasa pula sensasi keterapungan tubuh kita. Tak ubahnya barang hampa di atas permukaan laut, terayun-ayunkan ombak kecil yang bergulung-gulung menuju pantai. Mengosongkan pikiran saat terapung-apung semakin menambah sensasi kenikmatan Laut Mati yang jauh dari hiruk-pikuk keseharian.
Pantainya sendiri hanyalah buatan. Pengelola hotel dan resor berlomba mendandani pantai dengan aneka taman untuk melawan kegersangan khas Timur Tengah. Ada rumput, pohon zaitun, dan pohon palem.
Sayangnya, mereka menggunakan pupuk organik untuk merangsang pertumbuhan tanaman tersebut sehingga serbuan lalat pun tak terbendung. Karena itu, waktu paling nyaman menikmati pantai dan Laut Mati adalah pada pagi hari sebelum lalat berdatangan mengerubungi kita.
Takut kulit terbakar matahari di pinggir pantai, pengunjung bisa berenang di beberapa kolam air tawar yang banyak disediakan pengelola hotel dengan berbagai model. Ada yang persegi empat, persegi memanjang, bundar dan bulat, sampai yang tak beraturan seperti danau.
Jejeran kursi panjang untuk berjemur di bawah tenda payung, pohon palem, dan semak pohon zaitun juga banyak. Minuman segar dan makanan ringan setiap saat bisa diantar pelayan bar dan kafe hotel.
Laut Mati dengan potensinya dieksploitasi menjadi industri pariwisata. Lumpur, air laut, dan garam dari Laut Mati diproses menjadi produk-produk kesehatan dan kecantikan bernilai tambah. Sabun, produk pembersih muka, serta krim pelembab muka dan tangan menjadi produk istimewa dengan kemasan modern dan higienis.
Garam yang sudah diproses dan dikemas dengan baik seberat kira-kira 20 gram dijual seharga 8 dinar Jordan. Satu dinar Jordan setara dengan 1,27 dollar AS.

Kreatif! Industri kepariwisataan tak sekadar menjual keunikan alam Laut Mati. Ide dan proses kreatif itulah yang membuat Laut Mati semakin hidup.

Selasa, 14 Januari 2014

Yerusalem


Jangan MENUNGGU

Yang membatasi untuk mengambil tindakan inisiatif itu, yaitu 
Tidak percaya diri,
2     Masa bodoh,
3     Ragu-ragu

4     Menunda

Jangan MENUNGGU kondisi membaik. Tapi LAKUKAN SESUATU agar kondisi membaik. Jangan menunggu contoh lalu bergerak mengikuti; tapi bergeraklah, maka Anda akan menjadi contoh yang diikuti.

Jangan menunggu bola datang menghampiri, tapi jemputlah bola itu dan cetaklah gol dalam kehidupan Anda

Kunci untuk membuka potensi diri bukanlah kecerdasaan bukanlah kekuatan tapi ketekunan berusaha. Disiplin memang tidak mudah dan ada satu cara yang paling efektif untuk membuat anda selalu bersemangat yaitu Cinta. Jika anda melakukan hal-hal yang anda cintai dan jika anda melakukan itu semua untuk orang-orang yang Anda cintai saya yakin semua kemalasan dan semua kepenatan pasti akan sirna. Jadi teruslah disiplin., Saya pasti Bisa!”



Minggu, 13 Oktober 2013

What Makes Us Happy, Revisited



What Makes Us Happy, Revisited


 

 
In June 2009, The Atlantic published a cover story on the Grant Study, one of the longest-running longitudinal studies of human development. The project, which began in 1938, has followed 268 Harvard undergraduate men for 75 years, measuring an astonishing range of psychological, anthropological, and physical traits—from personality type to IQ to drinking habits to family relationships to “hanging length of his scrotum”—in an effort to determine what factors contribute most strongly to human flourishing.
Recently, George Vaillant, who directed the study for more than three decades, published Triumphs of Experience, a summation of the insights the study has yielded. 

Among them: “Alcoholism is a disorder of great destructive power.” Alcoholism was the main cause of divorce between the Grant Study men and their wives; it was strongly correlated with neurosis and depression (which tended to follow alcohol abuse, rather than precede it); and—together with associated cigarette smoking—it was the single greatest contributor to their early morbidity and death.  

Above a certain level, intelligence doesn’t matter. There was no significant difference in maximum income earned by men with IQs in the 110–115 range and men with IQs higher than 150.  

Aging liberals have more sex. Political ideology had no bearing on life satisfaction—but the most-conservative men ceased sexual relations at an average age of 68, while the most-liberal men had active sex lives into their 80s. “I have consulted urologists about this,” Vaillant writes. “They have no idea why it might be so.”
But the factor Vaillant returns to most insistently is the powerful correlation between the warmth of your relationships and your health and happiness in old age. After The Atlantic’s 2009 article was published, critics questioned the strength of this correlation. Vaillant revisited the data he had been studying since the 1960s for his book, an experience that further convinced him that what matters most in life are relationships. For instance, the 58 men who scored highest on measurements of “warm relationships” earned an average of $141,000 a year more at their peak salaries (usually between ages 55 and 60) than the 31 men who scored lowest; the former were also three times more likely to have achieved professional success worthy of inclusion in Who’s Who. And, in a conclusion that surely would have pleased Freud, the findings suggest that the warmth of your relationship with Mommy matters long into adulthood. Specifically:
  • Men who had “warm” childhood relationships with their mothers earned an average of $87,000 more a year than men whose mothers were uncaring.
  • Men who had poor childhood relationships with their mothers were much more likely to develop dementia when old.
  • Late in their professional lives, the men’s boyhood relationships with their mothers—but not with their fathers—were associated with effectiveness at work.
  • On the other hand, warm childhood relations with fathers correlated with lower rates of adult anxiety, greater enjoyment of vacations, and increased “life satisfaction” at age 75—whereas the warmth of childhood relationships with mothers had no significant bearing on life satisfaction at 75.
Vaillant’s key takeaway, in his own words: “The seventy-five years and twenty million dollars expended on the Grant Study points … to a straightforward five-word conclusion: ‘Happiness is love. Full stop.’